Senin, 27 November 2017

Tesis Faktor Determinan dan Respon Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Jamban dalam Program KATAJAGA

FAKTOR DETERMINAN DAN RESPON MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN JAMBAN DALAM PROGRAM KATAJAGA
DI KECAMATAN GUNUNGPATI SEMARANG

Wiji Oktanasari*, Budi Laksono, Dyah Rini Indriyanti
Prodi Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
wijioktanasari@gmail.com

Abstrak
Pada saat ini masih ada warga masyarakat yang memiliki perilaku buang air besar disembarang tempat karena tidak memiliki jamban. Hal ini sangat merugikan kondisi kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor determinan dan respon masyarakat terhadap pemanfaatan jamban dalam program KATAJAGA (Kampung Total Jamban Keluarga) di Kecamatan Gunungpati Semarang. Desain penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini seluruh kepala keluarga yang mendapatkan bantuan jamban di Kecamatan Gunungpati berjumlah 1222 kepala keluarga. Sampelnya berjumlah 93 responden dengan teknik Proportionate Random Sampling. Pengambilan data diperoleh dengan cara memberi kuesioner dan wawancara pada responden. Analisis data dilakukan dengan program SPSS 17 secara bivariat (Chi Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan pendidikan dengan pemanfaatan jamban 2=4,423; df=1; p=0,035<0 span="">), demikian pula ada hubungan status ekonomi 2=6,500; df=2; p=0,039<0 span="">), pengetahuan 2=6,928; df=2; p=0,031<0 span="">), ketersediaan air bersih 2=4,371; df=1; p=0,037<0 span="">), akseptabilitas 2=8,387; df=1; p=0,004<0 span="">), dan partisipasi 2=6,918; df=2; p=0,031<0 span="">) terhadap pemanfaatan jamban dalam program KATAJAGA di Kecamatan Gunungpati Semarang. Manfaat penelitian yaitu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi dinas kesehatan dalam rangka pengambilan keputusan kebijakan dan evaluasi perbaikan program jamban.

Kata Kunci: Ketersediaan Jamban, Pemanfaatan Jamban, Program KATAJAGA

Abstract
At this time there are still people who have a defecate behavior in place because they do not have latrines. This is very detrimental to public health conditions. The purpose of this research is to analyze the determinant factor and the community response to the utilization of latrines in the program of KATAJAGA (Total Village Family Latrine) in Gunungpati District Semarang. The research design used was analytic survey with cross sectional approach. The population of this study is the entire head of the family who received a toilet assistance in Gunungpati District amounted to 1222 families. The sample were 93 respondents with Proportionate Random Sampling technique. The data were collected by giving questionnaires and interviews to the respondents. Data analysis was done using SPSS 17 program in bivariate (Chi Square). The results showed that there were correlation between education with the utilization of latrines (χ2 = 4,423; df = 1; p = 0,035 <0 6="" also="" correlation="" df="2;" economic="" knowledge="" p="0,039" status="" sup="" there="" was="">2
=6,928; df=2; p=0,031<0 span="">), supply of clean water (χ2 = 4,371; df = 1, p = 0.037 <0 .05="" 6="" 8="" a="" acceptability="" and="" as="" be="" benefits="" can="" consideration="" decision="" department="" df="2;" district="" evaluation="" for="" framework="" gunungpati="" health="" improvements="" in="" katajaga="" latrines="" o:p="" of="" p="0,031" participation="" policy="" program="" programs.="" research="" semarang.="" that="" the="" to="" toilet="" used="" utilization="">
Keywords: Availability of Latrines, Utilization of Latrines, Program of KATAJAGA

PENDAHULUAN
Pada jaman yang canggih ini masih ada orang yang memiliki perilaku buang air besar sembarangan. Hal ini menjadi suatu hal yang aneh dikarenakan hingga saat ini lebih dari 24 juta keluarga di Indonesia belum memiliki jamban (BPS, 2015). Keadaan ini disebabkan karena pembangunan program sanitasi masih berorientasi pada target fisik serta belum berorientasi pada perubahan perilaku di masyarakat (Rahmawati & Soedirham, 2013). Namun, upaya perubahan perilaku masyarakat terkait sanitasi seringkali gagal karena kondisi yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, kurangnya air bersih, dan jamban yang memadai (Conant & Pam, 2009).
Penggunaan jamban di berbagai daerah di Indonesia cukup rendah. Hal tersebut terlihat dari data yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2014 dimana tercatat pada penduduk yang menggunakan jamban rumah tangga (RT) di Indonesia yang memakai jamban sendiri sebanyak 65,8% dan tidak memiliki jamban sebanyak 34,2%. Rumah tangga di Propinsi Jawa Tengah yang menggunakan jamban sendiri sebanyak 65,46% dan tidak memiliki jamban sebanyak 34,54%. Rumah tangga di Kota Semarang yang menggunakan jamban sendiri sebanyak 80,37% dan tidak memiliki jamban sebanyak 19,63% (BPS, 2015).
Kepemilikan jamban yang belum mencapai 100%, tentunya ada sesuatu yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, Program KATAJAGA yang diprakarsai oleh Yayasan Wahana Bhakti Sejahtera (YWBS) memiliki konsep jambanisasi berbasis kewilayahan mulai dari kampung, kelurahan, kecamatan, sampai kabupaten/kota. Semua keluarga secara gotong-royong dalam waktu serentak membangun jamban keluarga dan menggunakannya. Pembangunan jamban keluarga yang dibantu oleh YWBS sudah dilakukan di berbagai kota di Jawa Tengah, seperti Kota Semarang. Bentuk bantuan yang diberikan yaitu berupa kloset, semen, besi, dan pasir (Laksono, 2015).
Kecamatan Gunungpati merupakan salah satu kecamatan yang terletak di bagian selatan Kota Semarang. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Gunungpati memiliki profesi sebagai petani dan di beberapa kelurahan ada yang mengalami kekurangan air bersih. Hal ini dimungkinkan menjadi penyebab masyarakat memiliki perilaku buang air besar sembarangan, sehingga tidak perlu memiliki jamban dirumahnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki jamban belum di eksplorasi. Diduga ada faktor determinan yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pemanfaatan jamban sebagai tempat buang air besar. Faktor determinan dalam pemanfaatan jamban ada tiga faktor, yaitu, faktor pemudah (pengetahuan, sikap, dan karakterisktik  individu), faktor pemungkin (fasilitas, sarana, dan prasarana), dan faktor pendukung (sikap dan perilaku petugas kesehatan atau kelompok lain) (Anggoro et al., 2015).
Respon masyarakat penerima bantuan jamban juga belum dieksplorasi. Respon masyarakat yang terdiri dari penerimaan dan partisipasi masyarakat berhubungan dengan pemanfaatan jamban. Penerimaan masyarakat terhadap program bantuan jamban ada positif dan ada yang negatif. Partisipasi sebagian anggota masyarakat dalam bentuk tenaga dan materi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai faktor determinan dan respon masyarakat terhadap pemanfaatan jamban dalam program KATAJAGA (Kampung Total Jamban Keluarga) di Kecamatan Gunungpati Semarang.



METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang mendapatkan bantuan stimulan jamban di Kecamatan Gunungpati sebanyak 1222 kepala keluarga.
Jumlah sampel dalam penelitian ini sejumlah 93 orang dihitung dengan rumus Slovin. Teknik pengambilan sampel menggunakan Proportionate Random Sampling, karena pengambilan sampel acak secara proporsional yang terbagi dalam 16 kelurahan. Kelurahan di Kecamatan Gunungpati yaitu Cepoko, Gunungpati, Jatirejo, Kalisegoro, Kandri, Mangunsari, Ngijo, Nongkosawit, Pakintelan, Patemon, Plalangan, Pongangan, Sadeng, Sekaran, Sukorejo, dan Sumurejo. Sampel tiap kelurahan diambil berdasarkan rumus jumlah KK tiap kelurahan yang mendapatkan bantuan jamban dibagi total jumlah KK yang mendapatkan bantuan jamban di Kecamatan Gunungpati dikalikan 100%.
Waktu penelitian dari bulan Mei sampai Juni 2017. Pengambilan data dilakukan dengan cara pemberian kuesioner dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan program SPSS 17 secara bivariat (Chi Square).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh yaitu faktor determinan (faktor predisposisi dan faktor pemungkin) dan respon masyarakat (penerimaan dan partisipasi masyarakat). Hasil penelitian diuraikan sebagai berikut :
1.    Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terdiri dari pendidikan, pengetahuan, dan status ekonomi.
a.      Pendidikan
Tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan rendah (tidak sekolah, SD, dan SMP) sebesar 56,5 % memanfaatkan jamban dengan baik dan 43,5% memanfaatkan jamban dengan kurang baik. Responden yang memiliki pendidikan tinggi (SMA dan perguruan tinggi) sebesar 83,3% memanfaatkan jamban dengan baik dan 16,7% memanfaatkan jamban dengan kurang baik. Pemanfaatan jamban dengan baik yaitu responden yang melakukan perawatan dan pemeliharaan jamban dengan baik seperti menyediakan alat pembersih lantai, jamban bersih, dan semua anggota keluarga selalu buang air besar di jamban.
Pemanfaatan jamban dengan kurang baik yaitu responden yang tidak melakukan perawatan dan pemeliharaan jamban seperti jamban licin dan kotor, tidak tersedia alat pembersih jamban, dan jamban tidak digunakan oleh semua anggota keluarga untuk buang air besar. Pemanfaatan jamban dalam program bantuan jamban di Kecamatan Gunungpati dalam kategori baik sebesar 59 (63,4%). Pemanfaatan jamban dalam kategori kurang baik sebesar 34 (36,6%), antara lain karena sebagian warga dalam status ekonomi yang rendah, masih terbiasa buang air besar di sungai dekat rumah, di jamban masjid, menumpang di rumah saudara atau tetangga.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=4,423; df=1; p=0,035<0 antara="" bahwa="" bermakna="" dalam="" dapat="" dengan="" di="" disimpulkan="" gunungpati="" hubungan="" jamban="" katajaga="" kecamatan="" o:p="" pemanfaatan="" pendidikan="" program="" semarang.="" terdapat="" yang="">



Tabel 1 Hubungan Pendidikan Penerima Jamban dengan Pemanfaatan Jamban
di Kecamatan Gunungpati Semarang
Pendidikan
Pemanfaatan Jamban
Jumlah
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
F
%
Rendah
Tinggi
30
4
43,5
16,7
39
20
56,5
83,3
69
24
100,0
100,0

Jumlah
34
36,6
59
63,4
93
100,0
χ2 = 4,423 ; df =1
p = 0,035

Pendidikan akan mempengaruhi kesadaran seseorang untuk untuk melakukan pemanfaatan jamban. Hal ini didukung hasil wawancara karena orang yang berpendidikan tinggi yang luas wawasannya akan merasa malu jika tidak memiliki jamban dan buang air besar sembarangan. Orang dengan pendidikan rendah menganggap buang air besar sembarangan merupakan hal yang wajar dan sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin luas pula pengetahuan dan wawasannya, sehingga peranan pendidikan sangat mempengaruhi perilaku keluarga terhadap pemanfaatan jamban sebagai sarana buang air besar.
Tingkat pendidikan seseorang termasuk faktor predisposisi terhadap perilaku kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah  seseorang untuk menerima informasi-informasi baru yang sifatnya membangun (Pane, 2009). Penelitian Siregar (2011) membuktikan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan perilaku keluarga terhadap penggunaan jamban. Hasil ini didukung studi yang dilakukan oleh Babitsch et al. (2012) bahwa pendidikan secara tidak langsung turut mempengaruhi kondisi sosial ekonomi keluarga sehingga juga akan mempengaruhi keluarga dalam pemanfaatan jamban.
Hasil wawancara dengan responden menegaskan bahwa semakin tinggi pendidikan responden akan mempengaruhi pengetahuan responden dan kesadaran akan pentingnya jamban keluarga yang sehat. Pendapat Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh dalam membentuk pengetahuan, sikap, persepsi, kepercayaan dan penilaian seseorang terhadap kesehatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kesadarannya untuk tetap menjaga kebersihan dan lingkungannya.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang sangat berperan meningkatkan kualitas hidup dalam mengupayakan pembangunan kesehatan secara optimal. Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya. Masyarakat yang memiliki pendidikan lebih tinggi pada umumnya memiliki wawasan yang lebih luas sehingga dapat lebih mudah dalam menyerap dan menerima informasi. Dengan demikian, diharapkan informasi yang diterima oleh masyarakat melalui pendidikan dapat menjawab masalah kesehatan serta aktif berperan serta dalam pengelolaan kesehatan lingkungan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang pada umumnya juga memiliki pengetahuan yang luas, maka akan semakin produktif sehingga akan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Semakin banyak masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi maka akan semakin sejahtera. Sehingga tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat akan membantu masyarakat dalam memanfaatkan jamban dengan baik.

b.      Pengetahuan
Tabel 2 menunjukkan bahwa ada sebanyak 32 orang (76,2%) responden yang memiliki pengetahuan baik melakukan pemanfaatan jamban dengan baik, sedangkan  responden yang memiliki pengetahuan cukup melakukan pemanfaatan jamban kurang baik sebanyak 3 orang (30,0%). Pengetahuan baik yaitu pemahaman responden tentang pentingnya jamban keluarga dan dampaknya terhadap lingkungan kesehatan jika tidak buang air besar di jamban.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=6,928; df=2; p=0,031<0 antara="" bahwa="" bermakna="" dalam="" dapat="" dengan="" di="" disimpulkan="" gunungpati="" hubungan="" jamban="" katajaga="" kecamatan="" o:p="" pemanfaatan="" pengetahuan="" program="" semarang.="" terdapat="" yang="">

      Tabel 2 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan Jamban
di Kecamatan Gunungpati Semarang
Pengetahuan
Pemanfaatan Jamban
Jumlah
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
F
%
Baik
Cukup
Kurang
10
3
21
23,8
30,0
51,2
32
7
20
76,2
70,0
48,8
42
10
41
100,0
100,0
100,0

Jumlah
34
36,6
59
63,4
93
100,0
χ2 = 6,928 ; df=2
p = 0,031

Berdasarkan tabel 2, bahwa sebagian besar masyarakat Kecamatan Gunungpati memiliki rata-rata pengetahuan baik, tetapi masih ada yang melakukan pemanfaatan jamban belum optimal. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak mengetahui pentingnya jamban keluarga dan dampak yang timbul jika melakukan buang air besar sembarangan. Sebagian masyarakat juga tidak mengetahui jika kotoran atau tinja manusia mengandung kuman yang dapat menyebabkan penularan penyakit pencernaan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara bahwa pengetahuan yang baik akan mempengaruhi pemanfaatan jamban. Masyarakat dengan pengetahuan baik akan memiliki wawasan yang luas dan pemikiran yang terbuka, sehingga memiliki jamban di rumah merupakan kebutuhan keluarga.
Penelitian Sholikah (2012) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan sangat penting. Hal ini akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam buang air besar sembarangan, selanjutnya dalam hal pengadaan sarana jamban keluarga maupun dalam hal perawatan hingga pemeliharaan jamban keluarga.
Penelitian Anggoro et al. (2015) bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang mengenai jamban maka semakin baik pula pemanfaatan jamban. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan. Apabila sesuatu tindakan didasari oleh pengetahuan, maka tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan.
Hasil penelitian Qudsiyah et al. (2014), menyebutkan terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan jamban. Promosi untuk memanfaatkan jamban seharusnya dilakukan secara optimal sebagai upaya dalam rangka menggerakan dan memberdayakan masyarakat. Pemberian informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran (responden). Sasaran diharapkan berubah dari tidak tahu menjadi tahu, sadar dari tahu menjadi mau dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan.
c.       Status Ekonomi
Tabel 3 menunjukkan bahwa ada sebanyak 37 orang (59,7%) responden yang memiliki status ekonomi cukup dengan penghasilan Rp872.500,00-Rp1.745.000,00/bulan (UMR Kota Semarang) melakukan pemanfaatan jamban dengan baik, sedangkan tidak ada responden yang memiliki status ekonomi tinggi dengan penghasilan lebih dari Rp1.745.000,00 melakukan pemanfaatan jamban kurang baik.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=6,500; df=2; p=0,039<0 antara="" bahwa="" bermakna="" dalam="" dapat="" dengan="" di="" disimpulkan="" ekonomi="" gunungpati="" hubungan="" jamban="" katajaga="" kecamatan="" o:p="" pemanfaatan="" program="" semarang.="" status="" terdapat="" yang="">

Tabel 3 Hubungan Status Ekonomi dengan Pemanfaatan Jamban
di Kecamatan Gunungpati Semarang
Status Ekonomi
Pemanfaatan Jamban
Jumlah
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
F
%
Tinggi
Cukup
Rendah
0
25
9
0
40,3
42,9
10
37
12
100,0
59,7
57,1
10
62
21
100,0
100,0
100,0

Jumlah
34
36,6
59
63,4
93
100,0
χ2 = 6,500 ; df=2
p = 0,039

Hasil wawancara menunjukkan bahwa kondisi perekonomian warga mempengaruhi pemanfaatan jamban untuk penggunaan, perawatan, dan pemeliharaan jamban. Penghasilan yang tinggi memungkinkan anggota keluarga untuk memanfaatkan jamban dengan baik, seperti membangun jamban sesuai dengan syarat jamban sehat. Syarat jamban sehat yaitu bangunan jamban tertutup, terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang lainnya. Demikian sebaliknya jika penghasilan rendah, maka masyarakat lebih memilih untuk membeli kebutuhan sehari-hari dibandingkan membangun jamban.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa alasan warga desa tidak mau membuat jamban karena pembuatan jamban yang memenuhi syarat kesehatan (jamban leher angsa dengan septik tank) dianggap mahal, sehingga warga memilih buang air besar di sungai atau kebun karena tidak memerlukan biaya. Di samping itu, sebagian besar masyarakat menggunakan penghasilan yang didapatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sandang dan pangan) karena masyarakat menganggap jamban bukan merupakan prioritas utama. Status ekonomi yang rendah menyebabkan kurang perhatiannya keluarga dalam pemanfaatan jamban. Oleh karena itu, perawatan dan pemeliharaan jamban yang kurang menyebabkan kondisi jamban kotor sehingga keluarga malas memanfaatkan jamban dengan baik.
Penelitian ini diperkuat penelitian Kamria (2013) yang menyatakan bahwa status ekonomi mempengaruhi tingkat pemanfaatan jamban dengan baik. Status ekonomi yang baik dapat menciptakan sanitasi lingkungan yang baik, sehingga tercipta kesehatan keluarga yang diharapkan. Sanitasi lingkungan yang buruk disebabkan karena penghasilan keluarga masih rendah, sehingga mengakibatkan kurangnya perhatian keluarga dalam pembangunan ataupun perawatan jamban. Oleh karena perawatan dan pemeliharaan jamban yang kurang sehingga kondisi jamban dalam kondisi yang kurang layak mengakibatkan individu dalam keluarga malas untuk memanfaatkan jamban dengan baik (Kamria et al., 2013).
2.        Faktor Pemungkin (Ketersediaan Air Bersih)
Tabel 4 menunjukkan bahwa ada sebanyak 42 orang (72,4%) responden yang memiliki ketersediaan air bersih tinggi melakukan pemanfaatan jamban dengan baik, sedangkan  responden yang memiliki ketersediaan air bersih rendah melakukan pemanfaatan jamban dengan kurang baik sebanyak 18 orang (51,4%).
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=4,371; df=1; p=0,037<0 air="" antara="" bahwa="" bermakna="" bersih="" dalam="" dapat="" dengan="" di="" disimpulkan="" gunungpati="" hubungan="" jamban="" katajaga="" kecamatan="" ketersediaan="" o:p="" pemanfaatan="" program="" semarang.="" terdapat="" yang="">

Tabel 4 Hubungan Ketersediaan Air Bersih dengan Pemanfaatan Jamban
Di Kecamatan Gunungpati Semarang
Ketersediaan Air Bersih
Pemanfaatan Jamban
Jumlah
Kurang Baik
Baik
F
%
F
%
F
%
Tinggi
Rendah
16
18
27,6
51,4
42
17
72,4
48,6
58
35
100,0
100,0

Jumlah
34
36,6
59
63,4
93
100,0
χ2 = 4,371 ; df=1
p = 0,037

Ketersediaan air bersih yang cukup akan mempengaruhi pemanfaatan jamban. Hal ini didukung oleh hasil wawancara karena sebagian orang beranggapan bahwa buang air besar harus dengan air yang mengalir. Warga masyarakat malas menggunakan jamban jika tidak tersedia air bersih yang cukup. Lokasi tempat tinggal yang dekat dengan sungai menjadi salah satu alasan jika ketersediaan air bersih kurang, maka warga buang air besar di sungai. Kelurahan yang dekat dengan sungai antara lain Cepoko, Nongkosawit, Pakintelan, Plalangan, dan Sumurejo. Daerah seperti kelurahan Sukorejo yang sering mengalami kekurangan air bersih, lebih memilih untuk buang air besar di sungai. Warga menggunakan air bersihnya untuk keperluan seperti memasak dan minum, daripada untuk keperluan buang air besar. Pernyataan Notoatmodjo (2012) bahwa masyarakat dalam berperilaku sehat memerlukan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan seperti air bersih, tempat pembuangan tinja. Sarana dan prasarana sangat mendukung sangat mendukung untuk berperilaku hidup sehat.
Hasil penelitian Anggoro (2015) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan air bersih dengan pemanfaatan jamban keluarga. Hal tersebut disebabkan tersedianya air bersih untuk menggelontor kotoran atau tinja terpenuhi sehingga menyebabkan seseorang akan cenderung memanfaatkan jamban. Ketersediaan air bersih menunjang kenyamanan dalam penggunaan jamban (Anggoro et al., 2015). Namun, sebagian warga masyarakat juga beranggapan bahwa buang air besar tidak harus menggunakan air yang bersih.
Hasil penelitian ini menunjukkan bukti bahwa ketersediaan air bersih ada hubungannya dengan tindakan responden untuk memanfaatkan jamban sebagai tempat buang air besar. Masyarakat akan merasa nyaman memanfaatkan jamban apabila didukung dengan ketersediaan air bersih untuk membersihkan diri setelah buang air besar (Dahal et al., 2014). Penelitian Simanjuntak (2009), ketersediaan air bersih mempengaruhi pemanfaatan jamban karena jika air bersih kurang maka kepala keluarga beserta keluarga hanya menggunakan jamban seperlunya saja dalam waktu darurat (misalnya pada malam hari), sedangkan pada siang hari menggunakan sungai untuk buang air besar.
Sarana air bersih di Kecamatan Gunungpati menggunakan sumur gali dan PDAM. Dari 93 responden yang menggunakan sumur gali sebanyak 22 orang (23,65%), PDAM sebanyak 71 orang (76,35), dan yang menggunakan keduanya sebanyak 14 orang (15,05%). Beberapa wilayah mengalami kesulitan air bersih terutama saat kemarau panjang. Hal ini dikarenakan ketika musim kemarau mengakibatkan sumber air defisit, sehingga PDAM melakukan penutupan air secara bergilir. Sumur gali hanya digunakan ketika air dari PDAM mati. Sementara ketika tidak digunakan sumur gali dibiarkan terbuka sehingga airnya kotor dan kondisi air bersih sedikit. Oleh karena itu, ketersediaan air bersih yang kurang mempengaruhi pemanfaatan jamban. Tidak tersedianya air bersih juga menyebabkan buruknya kondisi jamban, hal ini disebabkan tidak adanya air yang dapat digunakan untuk membersihkan lantai maupun daerah di sekitar jamban yang kotor. Hal inilah yang membuat sebagian warga tidak memanfaatkan jamban dengan baik.

3.        Respon Masyarakat
Respon masyarakat terdiri dari penerimaan dan partisipasi masyarakat.
a.      Penerimaan
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=8,387; df=1; p=0,004<0 14="" 45="" ada="" ampung="" antara="" bahwa="" baik="" bermakna="" dalam="" dapat="" dengan="" di="" disimpulkan="" gunungpati="" hubungan="" jamban="" katajaga="" kecamatan="" keluarga="" kurang="" melakukan="" memiliki="" o:p="" orang="" pemanfaatan="" penerimaan="" program="" responden="" sebanyak="" sedangkan="" semarang.="" terdapat="" total="" yang="">
Penerimaan masyarakat yang baik terhadap program bantuan jamban menyebabkan pemanfaatan jamban juga baik. Hal ini didukung oleh hasil wawancara bahwa warga menerima program bantuan jamban dengan senang dan memanfaatkan jamban keluarga sebagai salah satu bentuk menghargai pemberi program. Warga menerima bantuan jamban tanpa adanya komplain meminta bahan tambahan lain, meski dari 93 ada 33 warga yang penerimaannya kurang puas karena meminta bantuan tambahan lain seperti uang karena menganggap bantuan yang diberikan kurang efektif. Masyarakat menanggap bantuan yang diberikan kurang efektif karena bantuan hanya berupa wc dan kerangka beton besi, sehingga memerlukan biaya tambahan untuk membuat jamban lebih bagus.
Penelitian Simms et al. (2005) bahwa penerimaan program jamban menyatakan 89% masyarakat merasa senang dan sebanyak 97,3% masyarakat akan segera membuat jamban baru. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat yang baik akan mempengaruhi masyarakat untuk membangun dan memanfaatkan jamban. Namun, keberlanjutan program penyediaan jamban dan penerimaan masyarakat yang baik tidak akan berlangsung efektif jika tidak ada pendidikan kesehatan terutama untuk daerah yang cakupan jambannya buruk.
Masyarakat mempunyai penilaian terhadap penggunaan jamban keluarga yang akan mereka manfaatkan. Penilaian tersebut akan menimbulkan suatu sikap penerimaan atau penolakan terhadap pemanfaatan jamban keluarga dengan baik dalam hal perawatan dengan pemeliharaan (Diallo et al., 2007). Program jambanisasi akan meningkat pemanfaatannya jika dapat diterima (acceptable) dan mendapat dukungan dari masyarakat (Simms et al., 2005).
Secara keseluruhan penerimaan warga masyarakat dalam program jambanisasi baik. Penerimaan masyarakat baik yaitu warga menerima dengan senang bantuan jamban tanpa adanya komplain untuk meminta bantuan lebih dan seluruh anggota keluarga merasakan kenyamanan memiliki jamban dirumahnya. Warga merasa senang dengan adanya program bantuan jamban tersebut meskipun ada beberapa responden yang menyatakan kurang puas dengan adanya program bantuan jamban dikarenakan fasilitas jamban yang diberikan kurang efektif. Bantuan yang diberikan kurang efektif karena bantuan hanya berupa wc dan kerangka beton besi, sehingga memerlukan biaya tambahan untuk membuat jamban lebih bagus.

b.      Partisipasi
Partisipasi masyarakat adalah peran orang-orang yang hidup bersama dan saling berinteraksi untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan (Karla, 2014). Partisipasi yang dimaksud dalam pembangunan jamban ini adalah partisipasi dari warga penerima bantuan jamban dan orang lain disekitarnya yang tidak menerima bantuan jamban.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai χ2=6,918; df=2; p=0,031<0 span="">, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara akseptabilitas dengan pemanfaatan jamban dalam program KATAJAGA di Kecamatan Gunungpati Semarang. Ada sebanyak 35 orang (76,1%) responden yang memiliki partisipasi baik melakukan pemanfaatan jamban dengan baik, sedangkan responden yang memiliki partisipasi cukup melakukan pemanfaatan jamban kurang baik sebanyak 8 orang (42,1%). Partisipasi yang baik adalah warga selalu hadir dalam pertemuan dan ikut diskusi dalam program bantuan jambanisasi, ikut serta dalam kegiatan kerja bakti membangun jamban.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa partisipasi masyarakat akan mempengaruhi pemanfaatan jamban karena warga akan merasa tenaganya untuk gotong royong sia-sia jika tidak memanfaatkan jamban keluarga dengan baik. Meskipun ada sebagian anggota masyarakat yang bersikap masa bodoh tidak ikut berpartisipasi terhadap program apa pun yang berlangsung di wilayah tempat tinggalnya. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian antar warga untuk saling membantu rendah.
Penelitian ini didukung oleh penelitian Masli et al. (2010) bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi warga semakin tinggi pula pengadaan jamban keluarga. Faktor-faktor penghambat dalam pembuatan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, selain masih rendahnya partisipasi masyarakat juga kesadaran masyarakat yang masih kurang untuk hidup sehat.
Partisipasi memiliki korelasi terhadap pemanfaatan jamban. Penelitian Mlenga (2016) bahwa keterlibatan masyarakat berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam hal penggunaan jamban keluarga dan ketersediaan air bersih. Partisipasi warga merupakan komponen penting untuk modal pembangunan jamban. Hal ini penting dalam pembangunan karena partisipasi mempengaruhi keputusan dalam pembuatan dan pemanfaatan jamban.
Dari hasil wawancara, beberapa anggota masyarakat ikut aktif berpartisipasi dalam bentuk tenaga untuk membangun dan memanfaatkan jamban. Namun, dari 93 ada 28 responden yang memiliki partisipasi kurang, diantaranya karena memiliki kesibukan bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk ikut gotong royong. Selain itu sebagian responden adalah wanita dan orang tua sehingga tidak ikut berpartisipasi tetapi ikut mendukung program jamban. Dukungan yang diberikan dalam hal ini adalah meminta bantuan kepada orang lain dengan membayarnya untuk membangun jamban.
Partisipasi ada dalam bentuk tenaga dan uang yang sering disebut swadaya. Swadaya merupakan kemampuan dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan program jamban agar kegiatan terlaksana dengan baik, terutama dalam pengadaan biaya (Setiawan, 2013). Swadaya masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kepala keluarga dalam hal biaya tambahan untuk membangun jamban.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bahwa swadaya yang tinggi akan mempengaruhi pemanfaatan jamban karena kepala keluarga yang rela mengeluarkan biaya tambahan akan merasa uangnya terbuang jika jamban tidak dimanfaatkan dengan baik. Beberapa anggota masyarakat mau mengeluarkan biaya lebih karena adanya kesadaran akan pentingnya membuat jamban keluarga yang nyaman sehingga akan dilakukan pemeliharaan, perawatan, dan penggunaan jamban. Dari segi swadaya, ada sebagian kepala keluarga yang mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli bahan material sehingga membuat jambannya lebih nyaman digunakan. Namun, dari 93 ada 32 kepala keluarga yang tidak mengeluarkan biaya tambahan karena keadaan ekonomi yang terbatas sehingga jamban dibangun sesuai dengan konsep yang ada.
Penelitian oleh Setiawan (2013) bahwa swadaya tidak memiliki pengaruh signifikan pada pemanfaatan program pembangunan. Swadaya dihubungkan dengan pendapatan dalam pengambilan keputusan. Swadaya yang tidak berpengaruh signifikan dimungkinkan karena kemudahan dan ketersediaan program bantuan yang sudah memadai sehingga tidak merasakan hambatan untuk memanfaatkan program tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan faktor determinan (pendidikan, status ekonomi, ketersediaan air bersih) dan respon masyarakat (penerimaan dan partisipasi) terhadap pemanfaatan jamban dalam program KATAJAGA di Kecamatan Gunungpati Semarang.
Saran bagi instansi kesehatan diharapkan melibatkan peran serta aktif atau pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang pentingnya jamban sehat. Bagi pemberi program jamban diharapkan memberikan sanksi berupa reward dan punishment kepada warga penerima bantuan jamban. Reward berupa alat pembersih lantai diberikan kepada warga yang membangun dan memanfaatkan jamban dengan baik. Punishment berupa penarikan kembali jamban jika jamban tidak dibangun dalam jangka waktu satu bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, F. F., Khoiron, & Ningrum, P. T. 2015. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Jamban Di Kawasan Perkebunan Kopi. Jurnal Kesehatan Lingkungan, (3)1 : 171–178.
Babitsch, B., Gohl, D., & Thomas, L. 2012. Re-revisiting Andersen’s Behavioral Model of Health Services Use : a Systematic Review of Studies from 1998-2011. GMS Psycho-Social-Medicine, 9 : 1-15.
Conant, J. & Pam. 2009. Panduan Masyarakat untuk Kesehatan Lingkungan. Bandung : The Eksyezet.
Dahal, K.R., Adhikari, B., & Tamang, J. 2014. Sanitation Coverage And Impact Of Open Defecation Free (ODF) Zone With Special Reference To Nepal: A Review. Journal of Engineering Research and Applications, 4(7) : 118-128.
Diallo, M.O., Hopkins, D.R., Kane, M.S., Niandou, S., Amadou, A., Kadri, B., Amza, A., Emerson, P.M., & Zingeser, J.A. 2007. Household Latrine Use, Maintenance and Acceptability in Rural Zinder, Niger. International Journal of Environmental Health Research, 17 (6) : 443-452.
Kamria, A.P., Hasan, W., & Nurmaini. 2013. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Jamban Keluarga di Desa Bontotallasa Dusun Makuring Kabupaten Maros. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3 (1) : 99-102.
Karla, A.A. 2014. Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Program Sanitasi Total Dan Pemasaran Sanitasi (STOPS) (Studi pada Kegiatan Arisan Jamban di Desa Penggaron, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang). Jurnal Kesehatan Lingkungan. Surabaya : UNESA.
Laksono, B. 2015. Modul Dasa Ilmu Balatrine Katajaga. Semarang : Yayasan Wahana Bhakti Sejahtera.
Masli, J., Suwarni, A., & Suharman. 2010. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengadaan Jamban Keluarga Melalui Community Lead Total Sanitation. Jurnal Kedokteran Masyarakat, 26 (3) : 144-151.
Mlenga, D. H. 2016. Towards Community Resilience, Focus on a Rural Water Supply, Sanitation and Hygiene Project in Swaziland. American Journal of Rural Development, 4 (4) : 85-92.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi  Kesehatan  dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Pane, E. 2009. Pengaruh  Perilaku  Keluarga  terhadap  Penggunaan  Jamban. Jurnal  Kesehatan Masyarakat, 3(5) : 29-35.
Qudsiyah, W.A., Pujiati, R.S., & Ningrum, P.T. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingginya Angka Open Defecation (OD) di Kabupaten Jember (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Kalisat). Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(2) : 362-369.
Rahmawati S.K. & Soedirham O. 2013. Analisis Peran Serta Masyarakat Dalam Keberhasilan Program Community Led Total Sanitation (CLTS). Jurnal Promosi Kesehatan, 1(2) : 138-144.
Setiawan, A. 2013. Peran Kepala Desa Terhadap Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan Di Desa Bumi Rapak Kecamatan Kaubun Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(3) : 1095-1109.
Sholikhah, S. 2012. Hubungan Pelaksanaan Program ODF (Open Defecation Free) Dengan Perubahan Perilaku Masyarakat Dalam Buang Air Besar Di Luar Jamban Di Desa Kemiri Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(15) : 84-90.
Simanjutak D. 2009. Determinan  Perilaku  Buang  Air  Besar  (BAB)  Masyarakat  (Studi  terhadap  pendekatan  Community  Led  Total  Sanitation  pada  masyarakat  desa  di  wilayah kerja Puskesmas Pagelaran, Kabupaten Pandeglang). Jurnal Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Simms, V.M., Makalo, P., Bailey, R.L., & Emerson, P.M. 2005. Sustainability and Acceptability of Latrine Provision in the Gambia. Tropical Medicine and Hygiene Journal, 99 : 631-637.
Siregar  Y.D.R. 2011. Faktor-faktor Predisposisi, Pendukung, dan Pendorong Terhadap Perilaku Buang Air Besar di Desa Sibuntuon Partur Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbahas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Yimam, Y.T., Gelaye, K.A., Chercos, D.H. 2013. Latrine Utilization and Associated Factor Among People Living in Rural Areas of Denbia District, Northwest Ethiopia, 2013, a Cross-Sectional Study. Medical Journal.